Keadilan Pajak di Era Modern: Perspektif Ulama terhadap Kenaikan PPN 12 Persen


Sejak 1 Januari 2025, pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan  kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12% dari sebelumnya yang hanya 11%. Adapun sasaranyya hanya berfokus pada beberapa kategori barang-barang  mewah dan jasa tertentu. Keputusan ini sejalan dengan ketetapan yang telah diterbitkan  oleh Sri Mulyani Indrawati Mentri Keuangan (Menkue) mengenai Peraturan Mentri Keuangan (PKM) No 131 Tahun 2024 yang memberlakukan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Keputusan ini  banyak menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan, termasuk dari perspektif Islam, mengingat bahwa system perpajakan yang ditetapkan oleh Pemerintah harus berlandaskan prinsip syariah Islam. Bagaimana perspektif para Ulama mengenai naiknya tariff Pajak Perambahan Nilai ini, baik sikalangan ulama salau maupun ulama modern?


Landasan Syariat Pemungutan Pajak


Dalam agama islam, pemungutan pajak mempunyai dasar hukum yang sangat  jelas dan kuat, seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadits dan kebijakan-kebijangan mengenai pajak pada masa pemerintahan islam periode pertama. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hasyr ayat 7 ditekankan mengenai pentingnya redistribusi kekayaan untuk menghindari potensi ketidakadilan:


مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ


Artinya: “Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyr: 07)

At-Taubah ayat 29:


قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ


Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka tunduk”.


Ayat diatas menjelaskan tentang jizyah  yang diharuskan bagi non-Muslim.

HR. Bukhari, No. 6125:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا


Artinya: “Aku mendengar Anas bin Malik RA, mengatakan: Nabi Shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Mudahkanlah dan jangan menyulitkan,tentramkanlah dan jangan membat lari”

Hadits Sohih Ini melarang kepada siapapun untuk merealisasikan pajak yang memberatkan:

Praktik yang dilakukan pada masa khalifah, seperti pengaturan zakat oleh Rasulullah SAW dan Kharaj yang dikelola oleh khalifah Umar bin Khattab RAmemperlihatkan keabsahan pajak yang diperlukan untuk kepentingan negara.


Pandangan Ulama Salaf


Ulama salaf berbendapat bahwa pemerintah boleh memungut pajak terhadap rakyatnya dengan syarat adil dan tidak memberatkan:


Umar bin Khattab RA: Menetapkan jizyah dan kharaj berdasarkan tarif yang secara proporsional. Beliau menyatakan, seperti yang tercatat dalam Kitab Al-Amwal:

"Aku tidak akan memungut pajak pada rakyatku melebihi kapasitas individu."


Ali bin Abi Thalib RA: Menekankan pentingnya transparansI, dalam kitab Nahj Al-Balaghah beliau mengatakan:

"Uang yang terkumpul di baitul mal (dari masyarakat) akan dikembalikan kepada mereka dalam bentuk keadilan."


Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam: Menerapkaan dharibah dalam keadaan darurat atau mendesak, namun dalam hal ini sifatnya hanya sementara dan hanya diberlakukan bagi rakyatnya yang dirasa sudah mampu secara ekonomi.


Imam Abu Hanifah:  Berpandangan bahwa pajak sama seperti halnya zakat dan kharaj, artinya pemerintah boleh memungut pajak dengan catatan tidak boleh membebani masyarakat yang dirasa kurang mampu. Pendapat ini juga  diikuti juga oleh Imam Malik bin Anas


Pandangan Imam Nawawi


Pendapat Imam Nawawi dalam  kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab


Imam Nawawi (wafat tahun 676 H), dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, menyatakan:

"Pemerintah boleh bahkan berhak mengumpulkan zakat, jizyah dan kharaj, namun tetap berdasarkan keadilan dan tidak memberatkan terhadap rakyatnya serta digunakan untuk kemaslahatan umat." Beliau juga menekankan agar pemerintah dalam memungut pajak tidak membebani rakyatnya yang tidak mampu. Belaiu bersandar pada hadits Rasulullah SAW. (HR. Bukhari, No. 6125 diatas).


Sikap  Imam Nawawi terhadap Pajak pada Masa Krisis Tartar


Syarat-syarat diatas juga dijelaskan dalam peristiwa fenomenal yang terjadi pada masa Imam Nawawi saat penyerangan besar-besaran pasukan tartar yang menaklukkan banyak wilayah milik kaum muslimin. Imam Nawawi pernah diasingkan oleh raja Zhahir Baibas, hal itu bermula saat raja Zhahir Baibas mengumpulkan dan mengajak para ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan tartar, Raja bermaksud ingin memungut pajak kepada rakyatnya dan meminta restu para ulama yang hadir pada saat itu, sebab kondisi kas negara sudah tidak cukup untuk membiayai perang. Akhirnya mereka sepakat bahwa pemerintah akan memungut pajak kepada rakyatnya, namun sebelum itu salah satu dari mereka meminta raja Zhahir Baibas untuk meminta persetujuan Imam Nawawi yang kebetulan pada saat itu tidak datang.


Akhirnya Imam Nawawi dipanggil oleh raja dan diminta untuk menandatangani kesepakatan bersama para ulama lainnya. Akan tetapi imam Nawawi tidak bersedia menandatangani kesepakatan tersebut. Raja bertanya kepada Imam Nawawi “Kenapa Tuan menolak?” Imam Nawawi berkata “Kita semua tahu bahwa dulu sultan juga seorang hamba sahaya yang tidak mempunyai apa-apa, lalu Allah menganugrahkan semua ini dan menjadikannya raja yang kaya raya, mempunyai ribuan hamba yang mnggunakan pakaian kebesaran dari emas, serta ratusan orang jariah, masing-masing dari mereka menggunak perhiasan. Wahai raja, jika Anda sudah menafkahkan itu semua, melepas semua pakaian semua hamba dan jariah dan menggantinya dengan kain wol, maka saya akan mendatangani dan berfatwa boleh memungut pajak dari rakyat”.


Mendengar jawaban Imam Nawawi raja Zhahir murka kepadanya dan mengasingkannya dari Damaskus. Kemudian para ahli fikih menyarankan raja Zhahir untuk meminta Imam Nawawi kembali ke Damaskus sebab beliau adalah Ulama besar panutan para ulama dan mayoritas rakyat di Damaskus. Mendengar itu semua akhirnya raja Zhahir meminta pengawalnya untuk menjemput dan meminta Imam Nawawi untuk kembali lagi ke Damaskus, tetapi Imam Nawawi menolak dan berkata “Saya tidak akan kembali ke Damaskus selama Zhahir masih disana”. Singkat cerita selang satu bulan dari pengasingan itu, Raja Zhahir pun meninggal dunia. ( Imam Suyuti, Husnu al Muhadharah : 2/ 66-67)


Pandangan Ulama Kontemporer


Jauh sebelumnya lama kontemporer sudah menganalisis kaitannya dengan kenaikan PPN 12% ini, tentunya dengan prinsip fiqih. Seperti yang dikemukakan oleh:


Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam karyanya Fiqh Zakat, beliau membolehkan adanya pajak selain zakat, sebagai contoh adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun tetap berdasarkan keadailan, mendukung kepentingan umum, dan tidak memperti kendaraan mahal, perhiasan bernilai tinggi, dan rumah-rumah elit) sudah sejberatkan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menaikkan PPN menjadi 12% untuk barang-barang mewah (sealan dengan prinsip ini, karena hal ditujukan untuk golongan kaya saja. Sementara itu, barang kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan tidak dikenakan pajak, sehingga masyarakat kecil pada umumnya tidak terbebani dengan adanya kebijakan ini..


Safdhinar M. (NU Jakarta) dalam sebuah artikel yang dikutip dari jakarta.nu.or.id, mendukung kebijkana pemerintah dalam menaikkan PPN 12% untuk barang-barang mewah sebagaimana disebut diatas, namun beliau tetap menekankan adanya unsur maqashid syariah dan sadd al-dhari’ah (mencegah kemudaratan). Selanjutnya beliau menyarankan agar pemerintah kebijkan ini diatur dengan berdaarkan kesepakatan dan berbagai pertimbangan dalam mengantisipasi kemungkin-kemungkinan yang akan terjadi, seperti inflasi yang dapat memengaruhi daya beli masyaakat menengah.


Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara umum mendukung pemungutan pajak yang yang dilakukan secara adil dan transparan. Meskipun secara eksplisit belum ada fatwa khusus yang berkenaan dengan kenaikan PPN 12%. Prinsip MUI bahwa pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah adalah sah selama digunakan untuk kepentingan umum selaras dengan kebijakan ini, terlebih lagi, karena rencana pemerintah untuk mengalokasikan dana PPN bagi pembangunan dan dukungan sosial (Rp38,6 triliun untuk masyarakat dengan pendapatan rendah dan usaha mikro, kecil, dan menengah).


Analisis Kenaikan PPN 12%


Tantangan dan Solusi

Tantangan utama mencakup potensi terjadinya inflasi, kurangnya pemahaman masyarakat tentang hukum syariah yang mengakibatkan penolakan, serta potensi kemungkinan penyalahgunaan dana.

Solusi yang sesuai dengan syariah:

Pendidikan: Mengadakan kampanye yang menjelaskan dasar hukum perpajakan (Al-Qur’an, Hadits, pendapat para ulama) untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.

Transparansi: Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk keterbukaan anggaran negara, seperti yang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Bantuan Sosial: Meningkatkan bantuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan  kelompok yang rentan, sesuai dengan prinsip maslahah.


Kesimpulan


Kenaikan PPN 12% untuk barang-barang mewah dianggap sah dalam pandangan syariat, dengan dukungan dalil dari Al-Qur’an (Surah Al-Hasyr ayat 7), Hadits (HR. Bukhari, No. 6125), serta pendapat dari ulama salaf seperti Umar bin Khattab RA , Ali bi Abi Thalib RA, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Selain itu, Imam Nawawi dan cendekiawan kontemporer yang sudah terkenal, seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dan Safdhinar M, juga mendukung kebijakan ini. Kebijakan tersebut dianggap adil karena ditujukan kepada mereka yang dianggap mampu atau kaya raya saja, tidak membebani masyarakat secara umum karena mengesampingkan kebutuhan dasar, dan bertujuan untuk mendukung kepentingan masyarakat melalui pembangunan serta insentif sosial. Pemerintah seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat dan memastikan adanya transparansi agar dapat mempertahankan kepercayaan publik.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim.
  2. Sahih Bukhari. (No. 1400, 6125).
  3. Sahih Muslim. (No. 1830).
  4. Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam. Kitab Al-Amwal. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
  5. Ali bin Abi Thalib. Nahj Al-Balaghah. Beirut: Dar Al-Hilal.
  6. Malik bin Anas. Al-Muwatta. Beirut: Dar Al-Fikr.
  7. Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Beirut: Dar Al-Fikr.
  8. Al-Qardhawi, Yusuf. (2009). Fiqh Zakat. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.
  9. Safdhinar M. (2024). “Pungutan Pajak dan Kenaikan PPN 12 Persen dalam Kajian Fiqih”. jakarta.nu.or.id.
  10. Kementerian Keuangan RI. (2025). “Presiden Prabowo Subianto Tegaskan PPN 12% Hanya untuk Barang Mewah”. www.ekon.go.id.

Unduh Artikel di bawah ini...

Posting Komentar

Terimakasih sudah mengunjungi Blog Pribadi saya, semoga berkah...Aaamin

Lebih baru Lebih lama